Sedangdari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Kh. Abdul Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Daftar Isi Pendidikan KH.
KH. Abdul Hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Beliau adalah Kyai asal Pasuruan Jawa Timur Sejak kecil sekitar 12-13 tahun, Ayahandanya mengirimkan ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Di pondok tersebut Hamid hanya mengeyam pendidikanya satu setengah tahun, kemudian beliau pindah ke Pondok Tremas, Pacitan, Pondok yang di asuh oleh KH. Dimyathi. KH Abdul Hamid adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Kyai Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. Sehari-hari, Hamid kecil jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Bahkan, Hamid kecil bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi itu. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Baca juga “Biografi Kyai Maimun Zubair.” Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Baca juga “Biografi Gus Baha.” Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Kisah Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pengasuh Pondok Pesantren Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir pengasuh Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat. Hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru. Akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Berkat perkembangan pondok pesantren yang di asuh oleh beliau, akhirnya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Pesantren beliau terkenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah KH. Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar , Pasuruan Jawa Timur Indonesia Dalam sebuah ceramahnya Gus Baha pernah menyapaikan beliau adalah salah satu kyai yang ikhlas. Biografi Singkat Nama KH. Abdul HamidLahir 22 November 1914 4 Muharram 1333 HWafat 25 Desember 1985 9 Rabiul Awwal 1403 HIstri NafisahNama Ayah KH. Abdullah bin KH. UmarNama Ibu Nyai Raihanah binti KH. Shiddiq Pendidikan Pondok Pesantren Talangsari, Jember;Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;Pondok Pesantren Termas, Pacitan, pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Sumber
KH Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Di antaranya adalah KH. Ali Ma'shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi - KH Abdul Hamid Pasuruan atau kerap disapa Mbah Hamid, adalah seorang ulama dari Rembang, Jawa Tengah. Meski lahir di Rembang, ia menghabiskan hidupnya di Pasuruan, Jawa Timur hingga dikenal sebagai KH Abdul Hamid Pasuruan. KH Abdul Hamid adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah di dikenal sebagai sosok ulama yang sangat sabar, KH Abdul Hamid juga dipercaya memiliki karomah wali. Berikut biografi singkat KH Abdul Hamid Pasuruan. Baca juga Biografi Gus Miek, Ulama yang Memiliki Karomah WaliMemiliki nama asli Abdul Mu'thi KH Abdul Hamid lahir pada 22 November 1914 di Desa Sumber Girang, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dengan nama Abdul Mu'thi, dan kerap dipanggil dengan "dul" saja. Ketika kecil, KH Abdul belajar mengaji kepada dua ulama besar di Lasem, yakni KH Ma'shum dan Kh Baidhawi. Di samping itu, ia memiliki hobi bermain sepak bola, yang sempat membuat sang ayah khawatir karena waktu mengajinya berkurang. Sejak kecil KH Abdul diyakini menunjukkan tanda-tanda sebagai wali atau kekasih Allah karena memiliki banyak karomah atau kelebihan yang sulit dijangkau akal. Haltersebut beliau lakukan karena ta'dzim pada anak cucu Rosululloh SAW. (cerita Hb,Abubakar Muhdlor dari KH.Ahmad pacarkeling dari Habib Umar sendiri). Tentang kecintaannya pada para sadat ini tidak perlu diragukan lagi bahkan Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid Pasuruan berkata : KH.Abdul Karim itu mahabbahnya pada Ahlul Bait 24 karat, anak Nama KH Abdul Hamid bagi warga Pasuruan sudah tidak asing lagi karena pengasuh Pesantren Salafiyah ini dikenal dengan keistimewaan dan karomahnya. Abdul Hamid begitu nama pria yang dilahirkan pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Abdul Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adalah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem. Kiai Shiddiq adalah ayah KH Machfudz Shiddiq, tokoh Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai, dia mula-mula belajar Alquran dari ayahnya. Tiga tahun kemudian, Abdul Hamid menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Sejak kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa dia bakal menjadi wali dan ulama besar. Konon pada usia enam tahun, dia sudah bertemu dengan Rasulullah. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Salah satu karomah Kiai Abdul Hamid yang dipercaya warga Pasuruan adalah bisa berada ditempat lain dengan wujud serupa. Hal ini terjadi saat Habib Baqir Mauladdawilah bertandang ke pesantrennya. Sang Habib yang pernah berguru dengan al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih diberikan ilmu untuk bisa melihat sesuatu yang gaib. Pada suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Ketika itu di tempat KH Abdul Hamid banyak sekali orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang bertemu Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti KH Abdul Hamid sejatinya bukanlah sang Kiai . Karena yang ditemuinya adalah sesosok gaib yang menyerupai. Kemudian Habib Baqir mencari di manakah sebetulnya KH Abdul Hamid yang asli berada. Setelah diselidiki dengan ilmu kanuragan Habib Baqir terkejut karena sang kiai tersebut tengah berada di Tanah Suci Mekkah. Karomah KH Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan terhadap seorang Habib sepuh yang datang kepadanya, karena sang Habib menanyakan kemana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya. KH Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tersebut. Seketika itu kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah. Subhanallah, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh KH Hamid mendatangi Masjidil Haram. Salah satu karomah lainnya yaitu ketika Asmawi, salah seorang santrinya harus melunasi utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo. Besarnya cukup besar untuk ukuran waktu sekitar tahun 70-an. Dia tidak tahu dan mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Karenanya, dia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada Kiai dengan lembut sang Kiai yang lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah Pak Kiai. Di sana ada dua pohon kelengkeng. “Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” kata Kiai menerima daun-daun kelengkeng itu, Kial Hamid memasukkannya ke dalam saku baju. Ketika ditarik keluar, di tangannya tergenggam uang kertas. Kemudian dia menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya. Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Masih kurang Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai kepada Kiai Hamid, lalu uang itu diserahkan ke Asmawi. Lain lagi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya. Dia justru seolah ingin menguji kewalian Kiai Hamid yang telah kesohor. Said Ahmad ingin tahu, apakah Kiai tahu bahwa dia ingin diberi makan olehnya. Ketika sampai di pesantren milik sang kiai, kebetulan saat salat lsya sudah masuk. Dia pun ikut salat berjamaah. Usai salat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jamaah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah siap-siap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak dia pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Ternyata dari rumah Kiai Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, dia pun mendekatinya. Ternyata tuan rumah sendiri yang memanggilnya. “Makan di sini ya,” kata Kiai Hamid sambil senyum. Dia pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji. “Maaf, lauknya seadanya,” kata Kiai santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang, sih.” Said tersindir. Dan sejak itu dia percaya, Kiai Hamid adalah wali. Sumber -ahlussunahwaljamaahsms
Kebaikanyang dihadiahkan kaum Muslimin kepada ahli kubur, baik berupa bacaan Al-Qur'an, doa, ataupun sedekah, memberi manfaat kepada mereka. (Foto ilustrasi: deviantart.com)Sye
- Kenali Kyai Hamid Dan Keturunan Kyai Hamid Pasuruan! Anda pastinya telah melakukan banyak hal dari pagi hingga malam. Namun, masih ada hal lain yang ternyata perlu Anda lakukan. Tentu saja, melakukan kegiatan yang berguna dengan membaca kisah dari beberapa tokoh besar yang mempunyai peran penting. Hal ini dapat membuat Anda ikut termotivasi untuk beragam hal yang sempurna. Tidak hanya tokoh perjuangan kemerdekaan saja yang mempunyai peran penting dalam beragam macam hal. Yang berjuang dalam agama juga menjadi tokoh yang harus Anda ketahui dengan baik. Apalagi untuk beberapa orang yang belum mendapatkan pencerahan dari segi meneladani tokoh yang ada. Salah satunya adalah Kyai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan akhlak mulianya. simak juga tentang amalan Kyai Hamid Pasuruanketurunan Kyai Hamid PasuruanBiografi Kyai Haji Abdul Hamid Sebelum mengenal lebih banyak hal lagi mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan. Maka, hal yang harus Anda kenali lebih dulu adalah ayahnya. Penting sekali halnya untuk tau beragam kisah menarik mengenai Kyai Hamid yang dipercaya sebagai wali Allah. Abdul Hamid bukan merupakan nama aslinya. Pria kelahiran bulan November ini juga bukan berasal dari Pasuruan. Memang benar halnya kalau ada banyak orang yang mengenalnya dengan nama belakang Pasuruan. Namun, bukan berarti ia adalah salah satu orang yang berasal dari Pasuruan. Nama ini dikenal dengan baik karena ada banyak kegiatan agama yang ia lakukan di tempat ini. Tentu saja, Kyai Hamid lahir di Jawa Tengah. Lebih tepatnya pada desa Dukuh Sumurkepel yang berlokasi di Desa Sumber Gerang. Ia lahir pada tanggal 22 November 1914 dimana Indonesia masih menjadi kekuasaan negara Belanda. Nama aslinya adalah Abdul Mu'thi yang merupakan putra dari pasangan terhormat. Banyak orang yang merasa segan dengan ayah dan juga ibunya. Keduanya merupakan bagian dari keluarga ulama. Ayahnya sendiri adalah Kyai Haji Abdullah bin Kyai Haji Umar. Lalu, ibunya sendiri adalah Nyai Raihanah binti Kyai Haji Shiddiq. Tentunya, tidak ada orang yang menyangka kalau ia akan tumbuh dewasa menjadi seseorang berakhlak mulia. Apalagi jika mengingat masa kecil yang terkenal akan kenakalannya. Ia juga mempunyai nama panggilan bedudul karena terlalu nakal. Banyak sekali orang yang ia isengi untuk mengisi waktu luang dimana semuanya adalah masyarakat Tionghoa. Bahkan, tidak jarang ia harus menyamar sebagai seorang wanita hanya untuk bersembunyi saja. Cerita menarik ini sangat penting untuk Anda baca sebelum tau beberapa keturunan kyai Hamid Pasuruan sendiri. Ia tidak hanya suka menganggu orang lainnya dalam beragam macam hal. Ia juga suka bermain dan tidak pernah berada di rumah. Kapanpun ada orang yang ingin bertemu dengan Abdul Mu'thi ini. Pastinya, tidak perlu datang ke rumahnya. Ia sudah pasti sedang bermain sepak bola atau layang-layang. Karena kenakalannya ini, pada usia 12 tahun, ia dikirim ke pesantren. Pondok pesantren Kasingan menjadi tempatnya untuk belajar agama dan mengurangi kenakalan. Lalu, pindah ke pesantren Tremas karena mempunyai kualitas yang lebih baik. Sekitar usia lima belas tahun, ia kemudian menunaikan ibadah haji karena diajak oleh kakeknya. Ia mendapatkan pengalaman berjumpa dengan Rasulullah sehingga kakeknya segera menjodohkannya dengan Nafisah. Perjodohan ini tidak langusng menikah. Ia masih melanjutkan banyak perjalanan agama dalam pesantren ini hingga mengisi pengajian. Ada total 12 tahun yang membuat pembelajaran agamanya tidak perlu diragukan. Kehidupan Pernikahan Kyai Hamid Pasuruan Saat memutuskan untuk menikahi Nafisah pada umur kedua puluh dua tahun, status Kyai Hamid sepenuhnya berubah. Tentu saja, meski keturunan Kyai Hamid Pasuruan masih belum ada, ia telah menjadi seorang kepala rumah tangga untuk istrinya. Kehidupan yang ia jalani bersama istrinya tentunya bukanlah hal yang mudah. Anda salah saat berpikir bahwa mereka akan hidup berkecukupan dan bahagia. Hal ini dikarenakan Mbah Hamid harus menghadapi kerasnya mencari nafkah untuk istrinya. Hal ini dapat Anda buktikan melalui suatu kejadian yang pastinya pernah terlintas di telinga Anda. Benar sekali, hal tersebut adalah mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer setiap harinya. Jarak ini tentunya bukanlah jarak yang terbilang dekat. Sebaliknya, semua dari Anda tentunya akan merasa lelah saat menempuh jarak sejauh itu hanya dengan sepeda. Kyai hamid yang saat itu tinggal di rumah pamannya juga harus hidup jauh dari kemewahan. Hal ini dikarenakan yang ada hanya rumah yang sederhana dan hidup yang sederhana pula. Akan tetapi, ia tetap sabar dan tidak mengeluh. Selain ujian dari ekonomi, ada hal lain yang membuat tokoh dengan nama kecil bedudul ini harus tetap sabar. Benar sekali, hal tersebut adalah sikap istrinya pada dua tahun pernikahan yang tidak menurut. Istrinya kerap kali melawan dan bersikap yang tidak sepantasnya hingga akhirnya keturunan Kyai Hamid Pasuruan yang pertama lahir. Akan tetapi, ujian kembali datang saat anak pertamanya lahir ke dunia ini. Beberapa dari Anda tentunya mengetahui ujian yang dihadapi oleh tokoh ini. Jelas saja, hal ini dapat terjadi mengingat tokoh ini merupakan salah satu ulama terkenal dalam bidang agama. Inilah Keturunan Kyai Hamid Pasuruan Benar sekali, cobaan kali ini merupakan cobaan yang sangat berat mengingat tokoh dengan nama lahir Abdul Mu'thi ini harus merelakan anaknya. Benar sekali, anak pertama yang diberikan nama Anas ini meninggal dunia. Hal ini tentunya memberikan guncangan yang besar pula pada istrinya Nafisah. Ia terus merasa sedih hingga Kyai Hamid mengajaknya liburan ke Bali untuk melupakan rasa sedih. Akan tetapi, ujian yang sama kembali dihadapi oleh mereka saat merawat anak keduanya. Anak yang diberikan nama Zainab berpulang ke pangkuannya dalam usia yang baru beberapa bulan. Hal ini tentunya jauh lebih menyakitkan mengingat anak tersebut pernah mereka rawat. Akan tetapi, Kyai Hamid dengan tegarnya kembali merelakan dan menghibur istrinya dengan merencakan perjalanan liburan berdua. Hingga akhirnya saat ini, ia dikarunia lima putra dan satu putri yang mewarnai kehidupan rumah tangganya. Saat ini, hanya tersisa tiga yang masih hidup. Benar sekali, ketiga anak tersebut adalah H. Nu'man, H. Nasikh serta H. Idris. Menurut nereka, sosok ayahnya merupakan seseorang yang sangat sabar baik dalam mendidik dan memghadapi masalah yang terus berdatangan dalam hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan dari keturunan Kyai Hamid Pasuruan ini, mengenai ayahnya yang tidak pernah ringan tangan. Idris mengatakan bahwa Mbah Hamid tidak pernah sekalipun memukulnya meski dirinya sangat nakal. Akan tetapi, didikan yang tegas juga dilakukan agat mereka berada dalam jalan benar. simak juga tentang gus miek ceramah Beberapa hal yang ada sebelumnya merupakan hal yang harus Anda ketahui mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan hingga biografinya secara singkat. Kami pastikan saat ini semua dari Anda tentunya telah mengetahui hal ini dengan baik, bukan?
ProfDr H Abd Halim Soebahar MA. MEMPELAJARI keluarga KH Achmad Siddiq, akan memperolah banyak 'ibrah (pelajaran berharga). KH Achmad Siddiq nama kecilnya adalah Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi, 24 Januari 1926 (10 Rajab 1344), atau tujuh hari sebelum kelahiran Jam ' iyyah Nahdlatul Ulama, wafat pada hari Rabu, 23
kh hamid pasuruan. Nama KH. Hamid Pasuruan atau Mbah Hamid Pasuruan begitu melegenda dalam bab kewalian. Ia dikenal dengan sosok waliyullah yang mempunyai banyak karomah. Kediamannya menjadi tempat berlabuh untuk mencari berkah, baik berkah keilmuan atau doa, serta petuah keagamaan yang diharapkan menjadi obat/ pelipur hati dari gundah gulana. Sosok tersebut dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan. Pendahuluan Gus Mus berkata, “Kiai Hamid bukanlah Wali Tiban. Wali Tiban, kalau memang ada, tentulah kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidaklah demikian. Beliau dianggap wali secara Muttafaq alaihi.” Tentang kedalaman agamanya Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Mukti Ali mengatakan, “Yang paling terkesan dalam diri Kiai Hamid adalah akhlaknya; penghargaannya kepada orang, kepada ilmu, kepada orang alim, ulama, dan juga tindak tanduknya.” Garis Keturunan Kiai Hamid Pasuruan dahulunya bernama Abdul Mu’thi. Ia dilahirkan pada 1914 M/1333 H di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah Ia merupakan putra dari pasangan Kiai Abdullah dan Nyai Roihanah. Kedua orang tuanya ini, nasabnya bersambung dengan Sayyid Syambu Lasem. Untuk nasab jalur ayahnya yaitu, Abdul Mu’thi ibn Abdullah ibn Umar ibn Arabi ibn Muhammad ibn Ahmad Jamal ibn Abdul Adzim ibn Sayyid Abdurrahman Eyang Syambu Lasem. Sedangkan untuk jalur ibunya, Nyai Roihanah binti Muhammad Shiddiq ibn Abdullah ibn Shalih ibn Asra ibn Barda’i ibn Syaikh Yusuf ibn Eyang Syambu Lasem. Baca juga… Mbah Syambu Lasem Cucu Joko Tingkir Ketika usai menunaikan ibadah haji bersama sang kakek Kiai Shiddiq, nama Abdul Mu’thi diganti menjadi Abdul Hamid, yang kemudian hari dikenal dengan Haji Abdul Hamid, lalu dikenal dengan nama Kiai Hamid Pasuruan, sebab ia hijrah ke Pasuruan Jawa Timur. Nama Mu’thi di kemudian hari diberikan kepada salah satu muridnya, ketika ia nyantri dan ikut berpartisipasi dalam mengajar di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi, yaitu Mukti Ali yang aslinya bernama Bujono. Oleh Kiai Hamid, nama Bujono diganti menjadi Mukti, sedangkan nama Ali yang ada di belakangnya adalah nama ayahnya. Ia termasuk tokoh berpengaruh di Indonesia, yaitu pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia. Rihlah Ilmiah Semasa kecilnya Abdul Mu’thi dikenal sebagai anak yang nakal. Ia menjadi musuh bebuyutan China Lasem. Ia sangat tidak senang dengan orang China, sebab orang tuanya, Kiai Abdullah, suatu ketika kediamannya pernah diserang oleh orang China yang tidak suka dengannya. Namun, Allah melindungi hamba-Nya, sehingga serangan tersebut tidak membuahkan hasil kecuali beban malu yang ditanggung oleh orang China. Mereka menjadi takut dan mundur. Mereka berbeda dengan sebelumnya, ketika zaman Tumenggung Widyaningrat dan Ki sangat tidak suka dengan orang China. Masa kecilnya memang dikenal nakal jika dihadapkan dengan orang China. Ia pernah ngumpet di Kelenteng, tempat peribadatan orang China. Ketika orang China merayakan Cap Go Meh yang melintasi kediaman abahnya. Tindakan ini dinilai tidak sopan, sehingga ia meminta teman-temannya untuk melempari orang China tersebut dengan comberan air. Hal ini membuat orang China Lasem marah besar. Ia juga pernah memukul orang China, dan lain-lain. Karena dianggap nakal dan selalu membikin onar bagi orang China, maka ia diburu China Lasem untuk dikasih ganjaran. Ia merasa takut, sehingga akhirnya ia pergi ke tempat yang jauh, di kediaman kakeknya, Kiai Shiddiq yang ada di Jember. Ketika datang, ia langsung diajak oleh sang kakek menunaikan ibadah haji. Baca juga... Mbah Ma’shum Lasem, Ulama Kharismatik Yang Terlupakan Berganti Nama Usai Menunaikan ibadah haji bersama kakeknya Kiai Shiddiq, Mu’thi namanya diganti menjadi Abdul Hamid Haji Abdul Hamid. Diharapkan dengan ibadah haji dan mengganti nama ini, kenakalan Mu’thi akan semakin berkurang, namun kenyataannya belum. Ketika ia melihat orang China yang merokok dengan congkak, maka ia tidak mau berfikir panjang, ia langsung menempeleng orang tersebut. Kasus ini membuat geger orang China, sehingga harus melibatkan pihak Hindia Belanda. Dari peristiwa ini, akhirnya Kiai Abdullah memerintahkan Abdul Hamid untuk mondok di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi. Sebelum nyantri di Pesantren Termas, ia sempat dipondokkan abahnya di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh Kiai Khalil ibn Harun, adik sekaligus murid dari Kiai Umar ibn Harun al-Sarani. Ketika mondok di Pesantren Termas, Abdul Hamid terbilang santri yang menonjol, sehingga ia dekat dengan pengasuhnya. Selama nyantri di pesantren ini, ia pernah dipercaya sebagai lurah pesantren. Di antara sahabat seperguruannya di Pesantren Termas adalah Kiai Ali Maksum dan Gus Hamid putra Kiai Dimyathi. Selama kurang lebih 12 tahun, ia mengeyam pendidikan di pesantren ini, sehingga keilmuannnya menjadi ta’ammuq mendalam. Selain belajar kepada Kiai Abdullah, Kiai Khalil Kasingan, dan Kiai Dimyathi, Abdul Hamid juga pernah belajar kepada Kiai Baidlowi al-Lasemi, Kiai Ma’shum Ahmad, dan lain-lain. Ia sering tirakatan seperti menjalani puasa sunnah dan membaca amalan wirid tertentu sehingga membuatnya semakin dekat dengan Rab-nya. Ia menjadi hamba pilihan-Nya. Ia dikenal sebagai waliyullah yang kesuwur masyhur/ terkenal, bukan hanya di tanah Jawa, namun sampai ke luar Jawa. Salah satu waliyullah luar Jawa yang beristifadah dengannya adalah Abah Guru Sekumpul yang berasal dari Martapura. Membina Rumah Tangga Ketika Kiai Hamid masih nyantri di Pesantren Termas, ia sudah diincar oleh Kiai Ahmad Qusyairi untuk diambil menjadi menantunya. Mulanya, ia hendak dijodohkan dengan putrinya yang ketiga, Nyai Maryam, namun karena ia merasa belum siap untuk menikah dan masih ingin melanjutkan belajarnya, maka pernikahan itupun akhirnya tidak jadi. Baca juga... Menapak Jejak Kiai Hamid Baidhowi Lasem Kiai Ahmad Qusyairi sangat mengharapkan Kiai Hamid menjadi bagian keluarganya. Ia menemukan aura kelak Kiai Hamid akan menjadi seorang ulama yang berpengaruh. Karena sang putri yang ketiga sudah dinikahkan dengan Kiai Ahmad ibn Sahal, maka iapun dinikahkan dengan adiknya Nyai Maryam, yaitu Nyai Nafisah. Pernikahan tersebut berlangsung pada 12 September 1940 yang dihadiri oleh beberapa ulama Lasem, salah satunya adalah Kiai Ma’shum pernikahan tersebut, Kiai Hamid dikaruniai enam anak, yaitu Muhammad Anas, Zainab, Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad, dan Muhammad Idris. Semenjak Kiai Hamid menjadi menantu Kiai Ahmad Qusyairi, maka ia diminta sang mertua untuk bertempat tinggal di Pasuruan. Sang mertua ini juga asalnya orang Lasem, namun karena diambil menantu oleh ulama Pasuruan, yaitu Kiai Yasin, yang merupakan salah seorang ulama terpandang di Pasuruan, maka iapun hijrah ke tempat yang diminta oleh mertuanya. Saat awal-awal berumah tangga, Kiai Hamid sebagaimana kebanyakan orang, yang dirundung masalah ekonomi. Namun, dalam menyikapi masalah ini, ia begitu santai. Yang penting bagi manusia adalah berusaha, jangan sampai berpangku tangan, mengharapkan pemberian orang lain. Ia mulanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti berjualan sarung, kelapa, kedelai, dan bahkan pernah menjadi seorang broker sepeda. Sang Waliyullah Ketika pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Kiai Abdullah ibn Yasin wafat 1951 M, telah terjadi sebuah kesepakatan keluarga besar Pesantren Salafiyah untuk mengangkat Kiai Hamid sebagai guru besar pesantren dengan wadifahnya sebagai pengajar, sedangkan yang menjadi nadzir adalah Kiai Aqib. Namun, karena Kiai Aqib merasa masih muda bila dibandingkan dengan Kiai Hamid, maka akhirnya ia menyerahkan urusan pondok kepada Kiai Hamid, termasuk menjadi imam di Masjid Jami’. Dengan demikian, maka boleh dikata bahwa Kiai Hamid adalah pengasuh pesantren secara de facto. Baca juga… Al-Ghazali Al-Shaghir Dari Semarang Ketika Pesantren Salafiyah diasuh oleh Kiai Abdullah ibn Yasin, santri yang belajar dengannya hanya sedikit. Banyak yang tidak krasan mondok di sana, sebab Kiai Abdullah ini dikenal galak dan terlalu ketat. Ia mengharamkan memelihara rambut dan wiridannya panjang-panjang. Hal ini berbeda dengan Kiai Hamid yang dikenal halus dan lentur dalam menghadapi santri. Ia sangat bersabar dalam menghadapi sebuah masalah, termasuk jika ada santrinya yang nakal. Dengan sikapnya yang seperti ini, lama-kelamaan, banyak santri yang ingin beristifadah untuk mengaji kepadanya. Jumlahnya semakin membludak. Mulanya ketika masih awal-awal bertempat tinggal di Pasuruan, Kiai Hamid dikenal biasa-biasa saja. Mereka sering menyebutnya Haji Hamid. Namun, setelah berkiprah penuh di pesantren, dirinya semakin istiqamah dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah menunjukkan tanda-tanda kewaliannya meskipun ia sendiri dengan semaksimal mungkin berusaha untuk menutupinya. Sinarnya semakin terang dan memancar. Tanda Kewalian Tanda-tanda kewalian yang terpancar dalam diri Kiai Hamid dirasakan oleh Habib Ja’far. Menjelang wafatnya Habib Ja’far 1945 M, cahaya kewalian Kiai Hamid semakin memancar. Saat ia hendak bertamu di kediaman Habib Ja’far, maka sang tuan rumah kelihatan sangat sibuk sekali, sehingga sang istri merasa keheranan karena biasanya Habib Ja’far tidak sesibuk ini. Saat sudah sampai di kediamannya, Habib Ja’far memberikan Kitab Ihyâ Ulûmidin karya al-Ghazali disuruh untuk membacanya. Bukan itu saja, Habib Ja’far juga menyuruhnya untuk menjadi imam Salat Maghrib dan hari, pancaran kewalian Kiai Hamid semakin ketara, sehingga terjadilah dalam dirinya sebuah karomah yang disaksikan oleh banyak orang. Ia mengetahui kejadian sebelum diketahui oleh kebanyakan orang. Dengan maziyah atau linuweh yang dimiliknya ini, maka tidak mengherankan jika kediamannya menjadi tempat berlabuh dari berbagai kalangan untuk mencari keberkahan. Menurut Kiai Maimoen Zubair bahwa Kiai Hamid bisa mencapai derajat tinggi, salah satu sebabnya adalah birrul walidainnya kepada kedua orang tuanya. Semua anggota keluarganya ia tata dengan begitu indahnya. Kembali ke Rahmatullah Kiai Hamid dikenal sebagai sosok yang sabar. Ketika ia terkena sebuah penyakit yang menimpa dirinya, ia berusaha untuk menyimpannya sendiri supaya tidak diketahui oleh orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Baca juga… Kyai Munawir Krapyak Ketika penyakit Kiai Hamid sudah semakin parah, akhirnya ia dibawa ke rumah sakit untuk dirawat secara intens. Ketika dokter yang menanganinya melihat tidak ada harapan bagi kesembuhan Kiai Hamid, akhirnya ia menyarankan agar Kiai Hamid dibawa pulang ke Pasuruan. Sampai di rumah, kondisi kesehatan Kiai Hamid semakin mempritahatinkan. Waktu itu, Kiai Ahmad Shiddiq, sang paman ikut serta dalam menungguinya meminta kepada Nyai Nafisah agar mandi dan mengambil air wudu, kemudian memakai pakaian yang bagus sebagai isyarat bahwa ia sudah rela jika Kiai Hamid akan meninggalkannya. Usulan tersebut dilaksanakan Nyai Nafisah. Tidak lama kemudian, Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah dengan menyebut asma-Nya, Allah, Allah, Allah. Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah pada Sabtu dini hari tanggal 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M. Jasadnya dimakamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan. Pesarean ini diperuntukkan bagi kalangan kiai dan habaib, seperti makam guru beliau, Habib Ja’far ibn Syaikhan Assegaf, Kiai Achmad Qusyairi, dan Kiai Achmad Ibn Sahal. Makam Kiai Hamid sampai sekarang ramai diziarahi orang yang berasal dari berbagai daerah. Semoga kita mendapatkan keluberan berkahnya. Amîn yâ Rabbal Alamîn. [] Oleh Amirul UlumReferensi Kebangkitan Ulama Rembang Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum pasuruanl kh gus muhamad lukman cucu dari (alm) kh abdul hamid atau mbah hamid yang kondang dipanggil kh hamid pasuruhan adalah tokoh ulama pengasuh pondok pesantren sidogiri pasuruan, beliau adalah gus muhamad lukman cucu kh hamid pasuruan, mengabdikan dirinya dalam pengembangan agama islam dan juga memiliki rasa Lasem merupakan wilayah di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di Lasem cukup banyak orang dari bangsa China yang sukses berdagang. Selain itu, banyak juga dari Lasem lahir tokoh-tokoh ulama kharismatik, salah satunya KH Abdul Hamid. KH Abdul Hamid atau lebih dikenal Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat beragama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kiai Shiddiq. Masa Kecil Berdasarkan buku KH Hasyim As’ari dan KH Abdul Hamid Bapak NU Kita karangan Abdullah Shodiq dan Percik-Percik Keteladanan KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, disebutkan nama kecil KH Abdul Hamid adalah Abdul Mu'ti atau dipanggil Dul. Ia adalah anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Nyai Raihannah. Mu'thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tembuh sebagai anak yang lincah, extrovert dan nakal. Meskipun begitu, Mu'thi rajin membantu orang tuanya. Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu'thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya. Mu'thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu'thi bersih dari sifat sombong. Pada saat itu di Lasem memiliki ulama besar yang disegani masyarakat, yakni Kiai Ma'shum Mbah Ma'shum, Kiai Baidhowi, dan Kiai Muhammad Siddiq. Masa Pendidikan Pada usia tujuh tahun, Mu'thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur'an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari. Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kiai Muhammad Shidiq Mbah Siddiq di Jember, Jawa Timur. Dikisahkan, pada saat Mu'thi berada di rumah kakeknya Mbah Shiddiq tiba-tiba datanglah Rasulullah SAW dan saat itu ia sedang bersama kakeknya. Rasulullah SAW bertanya kepada Mbah Shiddiq, "Siapakah anak ini?" Mbah Shiddiq menjawab "Ini cucu saya." Kira-kira dua tahun kemudian, Rasulullah SAW datang kembali dan berpesan kepada Mbah Shiddiq supaya cucunya yang bernama Abdul Hamid diajak pergi haji. Kala itu, Abdul Hamid berusia 15 tahun, diajak Mbah Shiddiq menunaikan ibadah haji. Konon ketika ziarah ke makam Rasulullah SAW mereka bertemu muka dengan Rasulullah SAW dan sempat bersalaman. Keduanya juga mencium tangan Rasulullah SAW, bukan dalam keadaan tidur. Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Hamid melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Tremas yang didirikan oleh Kiai Manan. Pada saat itu Pesantren Tremas diasuh oleh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan. Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kiai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap. Lima tahun di sana, ia ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kiai Abdul Ghofur Pasuruan, Kiai Harun Banyuwangi, dan Kiai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kiai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya, setidaknya tidak perlu makan nasi tiwul. Adapun perubahan nama Abdul Mu'thi menjadi Abdul Hamid dalam hal ini ada dua versi. Menurut buku karya Hamid Ahmad disebutkan, "Begini orang-orang itu banyak yang memanggilku Haji Hamid atau Kiai Hamid daripada orang-orang keliru lebih baik aku saja yang ngalah namaku diubah menjadi Hamid. Namun, tidak jelas kapan nama itu berubah," kata Kiai Hamis saat wawancara KH Zaki Ubaid. Sedangkan menurut buku karya Abdullah Shodiq nama itu berubah ketika ia mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun. Kiai Hamid Menikah Hamid menikah di usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Kamis 12 September 1940 M. Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul WIB. Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja. "Kok cek telate? Kok datang telat?" tanya KH Achmad Qusyairi kepada Mbah Ma'shum selaku pemimpin rombongan dari Lasem. "Anu, takjak Saya ajak mampir-mampir ziarah ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat," jawab Mbah Ma'shum. "Lha manten pengantin kok diajak ziarah?" ujar KH Akhmad Qusyairi. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab. Dua yang disebut terakhir meninggal sewaktu mereka masih kecil. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan keluarganya dengan tidak mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kiai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilometer ke arah barat Kota Pasuruan. Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan ia sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya," katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas. Setelah beberapa bulan setelah menikah, Kiai Hamid diperintah oleh KH Ahmad Qusayri menggantikan kedudukannya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan KH Ahmad Qusayri pindah ke Glenmore Banyuwangi, mengajar dan mendirikan pesantren sendiri. Kiai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Ia sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri. Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, ia masih mengaji kepada Habib Ja'far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah. Menurut beberapa riwayat, sewaktu berada di Pasuruan Kiai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakarah yang diselenggarakan oleh Habib Ja'far bin Syichan pukul WIB. Dalam pengajian tersebut dihadiri oleh para ulama yang spesifik membahas diniyah ini, dipergunakan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali dalam hal ini Kiai Hamid sering ditunjuk oleh Habib Ja'far sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan aplikasi masalah dari beberapa poin kalimat. Berkat kumpul dengan para ulama terutama Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid mulai tampak, meskipun sebelum bertemu Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid sudah ada. Dalam artikel NU Online Jatim, Mengenal Lebih Dekat Sosok Mbah Hamid Pasuruan, diceritakan bahwasnnya KH Abdul Hamid Pergi ke Baghdad setiap tahun. Bermula dari kisah yang dialami langsung oleh Kiai Masyhudi, Sanan Kulon, Blitar, yang diceritakan sekitar tahun 2007 hingga 2008 sebelum wafat. Sebelumnya kisah ini tidak pernah diceritakan ke siapa pun, hal itu atas permintaan Kiai Hamid sendiri ketika masih hidup. Alkisah, di awal tahun 80-an Kiai Masyhudi melaksanakan ibadah haji, pada saat shalat Jumat di Masjidil Haram. Tanpa sengaja berkenalan dengan seorang syekh dari Bagdad yang bernama Syekh Hasan. Mengingat keduanya memang alim dan fasih, perkenalan berbincangan menjadi akrab diliputi kehangatan dalam bahasa Arab. Kejanggalan terjadi saat Kiai Masyhudi mengenalkan bahwa dirinya berasal dari Jawa Timur. Syekh Hasan bertanya yang jika di Indonesiakan kurang lebih begini, "Apakah Anda kenal dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan?" Kiai Masyhudi agak kaget dan balik bertanya "Beliau itu guru kami yang masyhur kealimannya. Ya Syekh Hasan. Dari mana anda mengenal Kiai Hamid?" Ternyata jawaban Syekh Hasan lebih mengagetkan lagi, yang intinya bahwa ia kenal baik dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan, sebab sang kiai selalu hadir pada acara haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad. Tidak hanya itu, saat di Bagdad Kiai Hamid selalu bermalam di rumah Syekh Hasan ini rutin setiap tahun. Singkat cerita, selepas shalat Jumat sebelum keduanya berpisah, Syekh Hasan mengakhiri percakapannya dengan menitipkan salam kepada Kiai Hamid, yang intinya Syekh Hasan menunggu kedatangan Kiai Hamid pada haul Syekh Abdul Qodir tahun depan di rumahnya di Baghdad. Sesampainya di Tanah Air, karena amanah titipan salam Syekh Hasan, Kiai Masyhudi sowan langsung kepada Kiai Hamid. Baru sampai di depan rumah, sang tuan rumah langsung keluar mempersilakan Kiai Masyhudi masuk, seolah sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Bahkan Kiai Hamid mendahului menyapa dengan berbisik ke telinga Kiai Masyhudi, "Nak Masyhudi, jangan cerita ke siapa-siapa ya kalau bertemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima, mohon jangan cerita siapa-siapa." Setelah Kiai Hamid wafat, Kiai Masyhudi menyampaikan kisah ini kepada salah satu menantu Kiai Idris putra Kiai Hamid agar menanyakan langsung ke Kiai Idris Hamid, apakah dahulu abahnya setiap tahun selalu pergi ke Baghdad? Namun putra Kiai Hamid itu menjelaskan, bahwa abahnya belum pernah pergi jauh ke mana-mana, kecuali pada saat melaksanakan haji. Subhanallah, karamahnya para wali. Memang, dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, diceritakan karamah Mbah Hamid weruh sakdurunge winarah Tahu sebelum kejadian. Diceritkan, suatu ketika ada seorang tamu dari luar kota sowan kepada Kiai Hamid. Seperti biasa para tamu memberikan amplop atau uang kepada Kiai Hamid sebagai bentuk penghormatan atau dikenal dengan istilah 'salam templek'. Orang yang sowan ingin memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah kepada Kiai Hamid. Namun, karena terburu-buru, dia belum sempat menukarkan uang sehingga masuk ke ndalem Kiai Hamid dia mempunyai selembar uang 10 ribu rupiah. Rencananya uang 10 ribu rupiah diberikan kepada Kiai Hamid dan sisanya dibuat ongkos pulang ke daerahnya. Dia mencoba menukarkan uang kepada para tamu di sampingnya, tetapi para tamu tidak ada yang mempunyai uang pecahan 10 ribu rupiah. Tiba-tiba Kiai Hamid keluar untuk menemui para tamu, termasuk orang tadi. Semua tamu bergegas sowan dan duduk di depan Kiai Hamid. Setelah selesai semua tamu berpamitan kepada Kiai Hamid, termasuk orang itu. Mungkin karena orang itu gugup selembar uang 20 ribu rupiah langsung diberikan kepada Kiai Hamid. Sebelum orang itu berpaling Kiai Hamid merogoh sakunya, lalu mengatakan kepada orang tersebut, "Ini kembaliannya 10 ribu rupiah." Orang tersebut pun langsung bengong. Umat Menangis Dalam buku Percik-percik KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, juga disebutkan Mbah Hamid wafat pada hari Sabtu 25 Desember 1982 M tepat pada pukul WIB atau dini hari. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 70 tahun dalam hitungan Hijriah. Seorang tokoh besar, tokoh panutan meninggalkan umatnya. Inalilahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kabar pun segera menyebar lewat radio, dari mulut ke mulut, dan dari telepon ke telepon. Kala itu umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tidak percaya Kiai Hamid wafat. Melihat bayaknya pelayat keluarga tidak mau mengambil risiko, khawatir keranda rusak karena bakal jadi rebutan, pelayat. Menjelang ashar keranda di bawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan yang lainnya karena saking padatnya pelayat, sehingga tidak bisa berjalan. Terjadilah tarik menarik keranda yang hendak keluar lewat gerbang barat atau timur. Konon, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam. Dilaporkan jamaah yang menyalati melebar tidak hanya sampai masjid dan alun-alun, tetapi terus ke timur hingga perempatan PLN sekitar 100 meter dan memenuhi jalan niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas jalan Nusantara sepanjang 1 kilometer. KH Ali Ma’shum bertindak sebagai imam shalat. Setelah shalat Asar Kiai Hamid disemayamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. Posisi makamnya di antara makam Habib Ja’far bin Syichan Assegaf guru KH Achmad Qusyairi mertua dan KH Ahmad Sahal ipar. Dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, di sebutkan bahwasnnya keberadaan makam Kiai Hamid membawa berkah terhadap kemakmuran masjid dan pedagang di sekitar makam. Setiap hari makam Kiai Hamid tidak pernah sepi dari peziarah lokal atau luar kota. Pada umumnya para peziarah Walisongo Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ziarah ke makam KH Abdul Hamid. Tidak cuma itu, semenjak ada makam KH Abdul Hamid setiap malam Jumat Legi kawasan sekitar masjid dan alun-alun Kota Pasuruan menjadi ramai. Mokhamad Faishol, aktivis NU di Pasuruan. Saatitu KH. Abdul Hamid mengumpamakan Pasuruan bagaikan Makkah dan Lekok bagaikan Madinah." Abdulloh Hakam bin Abdul Kholiq bin Hasyim Asy'ari (cucu KH Hasyim Asy'ari pendiri NU dan Ponpes Tebuireng). Pernah pada suatu malam beliau mengajak KH Abdulloh Hakam jalan-jalan ke tepi laut sambil memberi wejangan. Di saat itu pula, beliau Pasuruan l – KH Gus Muhamad Lukman cucu dari alm KH Abdul Hamid atau mbah Hamid yang kondang dipanggil KH Hamid Pasuruhan adalah tokoh ulama pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, beliau adalah Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid Pasuruan, mengabdikan dirinya dalam pengembangan agama Islam dan juga memiliki rasa kepeduliannya sangat luar biasa kepada masyarakat di jawa timur khususnya di tanah kelahirannya kabupaten petinggi pengurus NU di seantero jawa timur yang tak kenal dengan sosok seorang Kyai kharismatik yang masih muda bernama Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid Pasuruan, tentu sudah pasti sangat banyak sekali alim ulama yang mengenalnya pasalnya siapa pun yang memandanginya akan luluh dengan pancaran sinar kharismatik dan kewibawaannya sebagai tokoh ulama muda. Apalagi jika seorang sedang gundah hatinya, begitu mendekat dan melihat seyumanya serta berjabat tangan dengan Kyai Gus Muhamad Lukman langsung seketika sirna, kerena berjabat tangan alim ulama seperti dengan sosok Ulama muda KH Gus Muhamad Lukman dapat menghilangkan rasa ujub yang semula bersemayam dalam dada . ” Sebab filosofi Gus Muhamad Lukman sebuah jabat tangan dengan sesama umat manusia mangandung arti persahabatan,,di dasari oleh rasa nasionalisme yang tinggi terhadap sesama anak bangsa demi menjaga ke utuhan NKRI ,begitu juga mencium tangan seorang guru alim ulama selain rasa hormat terhadap Kyai maupun seorang alim ulama juga dapat menentramkan hati laksana di tuntun dalam dekapan Rahman dan Rohim Ilahi Robbi.“Demikianlah sosok profil KH Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid pasuruan yang digambarkan oleh Haji Adi salah seorang warga nahdiyin NU di sampaikan kepada sejumlah awak media masa nasional”.Menurut Haji Adi warga nahdiyin yang merupakan sosok pejuang di saat pilpres dan juga menjadi salah satu ketua umum relawan Jokowi menegaskan bahwa ulama muda kharismatik KH Gus Muhamad Lukman merupakan cahaya terpendam calon pemimpin PBNU masa depan berasal dari Jawa Timur yan notabene tempat berdirinya sebuah organisasi ke agamaan terbesar di Indonesia yakni Nahdatul ualama NU.“Oleh karena itu,maka bagi kami warga Nahdiyin asal jawa timur sudah sepatutnya untuk memperjuangkan calon pemimpin PBNU kedepan yakni sosok ulama muda kharismatik KH Gus Muhamad Lukman yang merupakan tokoh ulama potensial kader NU dari Jawa Timur,” pungkasnya. Totok Pos terkaitAjak Pelaku Usaha untuk Turunkan Jumlah Kasus StuntingPartai Garuda Wasdeni alias Bodong Siap Maju Bakal CalegEntaskan Stunting perlu Campur Tangan Pihak LainBuka Job Fair secara Resmi, Bupati Imron Salah Satu Cara tekan Angka PengangguranProgram Mubeng, Pemkab Cirebon bagikan Bantuan Rutilahu dan SembakoHari BPR-BPRS Nasional 2023, Bupati Imron BPR harus Memberikan Kontribusi Nyata kepada Masyarakat KH Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi Pasuruan, NU Online Jatim KH Muhammad Nailurrochman atau Gus Amak menyampaikan testimoni sosok KH Abdul Hamid Pasuruan saat Haul Masayikh bulanan yang dilaksanakan Layanan Digital untuk Nahdliyin Kamis 30/12/2021. Gus Amak merupakan salah satu cucu dari KH Abdul Hamid Pasuruan. Dalam kesempatan itu, Gus Amak menjelaskan bahwa auliya merupakan orang-orang yang berhasil mencintai Allah sekaligus dicintai Allah. “Kita untuk menunjukkan bukti cinta pada Allah saja masih sulit, apalagi mendapat respons cinta dari Allah. Maka orang-orang yang sudah dicintai Allah ini adalah sebuah maqom yang luar biasa dan butuh perjuangan mendapatkannya,” tutur Gus Amak. Lebih lanjut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan tersebut mengatakan, Kiai Hamid merupakan sosok yang sederhana. Hal ini berdasarkan pengakuan salah satu santri Kiai Hamid, KH Ihsan Ketintang Malang. “Saya pernah sowan ke beliau Kiai Ihsan. Beliau itu buka puasa hanya dengan makan telur setengah matang, kurma, dan kopi. Saat tanya mengapa tidak berbuka dengan nasi, beliau menjawab seperti itulah cara berbuka Kiai Hamid,” ujar Kepala Pesantren Bayt Al-Hikmah Kota Pasuruan tersebut. Menurut Gus Amak, sebagaimana dituliskan dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid” karangan KH Hamid Ahmad, ciri khas dari kakeknya itu merupakan seorang yang sangat tawadhu serta alim baik secara ilmu syari`at, maupun kanuragan. “Saya menyebut dua hal ini bersandingan karena kadang seseorang yang alim itu sulit tawadhu. Ini suatu pelajaran penting bahwa tawadhu dan kehebatan itu bisa berjalan beriringan,” katanya. Disampaikannya, kitab karangan Kiai Hamid yaitu Sullam At-Taufiq telah mendapat pujian dari KH Sahal Mahfudz. Kemampuan mengarang nadham dalam kitab, merepresentasikan keilmuan Kiai Hamid dalam menguasai kitab Juman kitab balaghah. Selain itu, keistimewaan lainnya adalah keistiqamahan untuk shalat berjamaah dan mengkhatamkan Al-Qur`an setiap sepekan sekali. Hal tersebut diceritakan langsung oleh KH Idris Hamid, ayah Gus Amak. “Keistiqamahan lainnya adalah membaca surah Al-fatihah 100 kali sehari. Saya mendapat cerita dari santri beliau yang langsung mendapat ijazah ini bahwasanya yang melanggengkan membacanya, maka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tersembunyi,” terang Gus Amak. Sebagai tamu undangan, Gus Amak mengaku sangat mendukung adanya kegiatan haul masayikh bulanan ini. Sebab, haul yang disesuaikan bulan wafat para ulama sekaligus mengulas biografinya menjadikan masyarakat semakin mengenal kiai-kiai nusantara. Ip9rNi.
  • 0n6blswfiy.pages.dev/281
  • 0n6blswfiy.pages.dev/401
  • 0n6blswfiy.pages.dev/354
  • 0n6blswfiy.pages.dev/44
  • 0n6blswfiy.pages.dev/199
  • 0n6blswfiy.pages.dev/369
  • 0n6blswfiy.pages.dev/209
  • 0n6blswfiy.pages.dev/55
  • cucu kh abdul hamid pasuruan